Reaksi Warga dan Orang Tua: “Lebih Baik ke Barak daripada ke Rehabilitasi”
Tribunkepo – Gak sedikit orang tua yang akhirnya merasa lega karena punya tempat buat menitipkan anak-anak mereka yang sudah terlampau jauh tenggelam dalam dunia digital.
Bu Ira, ibu dari dua anak laki-laki yang dua-duanya kecanduan gadget, bilang program ini bikin dia bisa “napas”.
“Saya udah coba segala cara, dari ancaman sampai rayuan. Tapi anak saya kalau udah main game, bisa lupa mandi dua hari. Pas dengar soal program ini, saya langsung daftarin,” ujarnya.
Menurutnya, lebih baik anak-anak ‘dipulihkan’ lewat pendekatan karakter dibanding dibawa ke klinik psikiatri atau pusat rehabilitasi.
Studi Kasus: Daerah Lain Mulai Melirik
Program barak pendidikan karakter di Purwakarta ini ternyata mulai bikin daerah lain tertarik buat replikasi. Beberapa daerah yang sudah menyatakan minat antara lain:
1. Kabupaten Sumedang
Pemerintah daerah sedang menjajaki kerja sama dengan Kodim setempat untuk membuat versi lokal dari program ini.
2. Kota Balikpapan
Sudah mengundang tim dari Jawa Barat untuk presentasi program. Mereka ingin memadukan pendidikan karakter militer dengan pelatihan coding bagi anak-anak.
3. Kota Medan
Mewacanakan model serupa tapi untuk remaja putus sekolah yang sering terlibat tawuran dan pelanggaran hukum ringan.
Infografis: Kecanduan Digital di Kalangan Remaja (Sumber: Kemenkominfo 2024)
matlabCopyEdit┌────────────────────────────┬─────────────┐
│ Kategori Kecanduan │ Persentase │
├────────────────────────────┼─────────────┤
│ Main game online >6 jam/hari │ 38.7% │
│ Aktif medsos >5 jam/hari │ 52.1% │
│ Tidur terganggu karena HP │ 64.3% │
│ Tidak mampu lepas HP 2 jam │ 45.5% │
│ Menolak interaksi offline │ 28.6% │
└────────────────────────────┴─────────────┘
Kesimpulan dari data di atas: Generasi muda kita udah sampai tahap mengkhawatirkan dalam hal penggunaan teknologi yang gak terkendali.
Perbandingan: Model Pendidikan Disiplin di Negara Lain
Sebenarnya Indonesia bukan satu-satunya negara yang coba pendekatan semi-militer buat mendisiplinkan anak. Beberapa negara lain udah lebih dulu punya program serupa:
Negara | Program | Fokus Utama |
---|---|---|
Korea Selatan | Student Boot Camp | Disiplin dan etika digital |
China | Military Summer Camp | Pengurangan adiksi game |
Amerika Serikat | Juvenile Military Academy | Anak dengan pelanggaran hukum ringan |
Singapura | National Cadet Corps | Pendidikan karakter & kebangsaan |
“Kalau negara lain bisa mengadopsi model pendidikan tegas tapi mendidik, kenapa kita enggak?” kata Meutya Hafid saat menjawab pertanyaan wartawan.
Anak Dididik, Bukan Disiksa
Banyak yang awalnya skeptis, khawatir ini bentuk baru kekerasan terhadap anak. Tapi faktanya, pendekatan di barak militer ini tetap memperhatikan prinsip perlindungan anak.
SOP yang Diterapkan di Barak Pendidikan Karakter:
- Tidak ada kekerasan fisik atau verbal.
- Setiap anak didampingi oleh psikolog dan konselor.
- Waktu istirahat, makan, dan ibadah dijamin.
- Setiap anak wajib menulis jurnal harian (refleksi).
- Orang tua mendapat laporan mingguan.
“Anak-anak di sini belajar disiplin, bukan dipaksa tunduk. Ini sekolah, bukan penjara,” ujar Letnan Kolonel (Letkol) Arifin, komandan yang bertanggung jawab atas barak.
Anak-anak Juga Belajar Hidup Sosial
Selain disiplin dan detox digital, anak-anak juga diajak membangun keterampilan sosial yang selama ini hilang karena terlalu banyak berinteraksi secara digital.
Mereka belajar:
- Kerja tim
- Saling menghargai
- Mendengar dan memahami orang lain
- Membatasi waktu penggunaan gadget
Salah satu alumni program, Nabila (16 tahun), mengaku awalnya dia benci banget dikirim ke barak.
“Gue pikir ini kayak hukuman, padahal setelah dua minggu, gue ngerasa kayak punya keluarga baru. Dulu gue nggak pernah ngomong sama orang tanpa ngetik. Sekarang gue bisa ngomong langsung,” katanya sambil tertawa kecil.
Kunci Keberhasilan: Dukungan Pemerintah Daerah
Program ini nggak akan jalan tanpa inisiatif dan nyali pemerintah daerah.
“Kepala daerah harus punya nyali buat ngambil langkah beda. Jangan cuma nunggu anggaran dari pusat,” ujar Dedi Mulyadi.
Respon Lembaga Perlindungan Anak
Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) menyatakan dukungannya terhadap program ini, dengan catatan tetap harus ada evaluasi berkala dan pengawasan ketat.
“Selama pendekatan yang digunakan mengedepankan pemulihan, bukan kekerasan, kami dukung. Tapi tetap harus ada audit psikologis,” kata Kak Seto.
Apakah Ini Solusi Jangka Panjang?
Pendekatan militer dalam pendidikan anak tentu bukan solusi tunggal. Tapi untuk kasus-kasus ekstrem, ini bisa jadi langkah awal penyelamatan yang bisa disempurnakan.
Yang penting, program ini bukan tempat pelarian, tapi tempat pembentukan.
Rencana Pengembangan 2025-2026
Tahapan | Target |
---|---|
Q3 2025 | Evaluasi regional di 5 provinsi |
Q4 2025 | Pelatihan tenaga pendamping anak |
Q1 2026 | Replikasi program di 20 kabupaten/kota |
Q2 2026 | Pengintegrasian kurikulum karakter nasional |
Pesan Terakhir dari Menkomdigi dan Dedi
Menkomdigi Meutya Hafid:
“Kita jangan menyerah sama anak-anak kita. Mereka bukan generasi gagal. Mereka hanya butuh pendekatan baru yang lebih tegas, tapi tetap penuh cinta.”
Dedi Mulyadi:
“Kalau kita nggak berani ambil langkah gila untuk menyelamatkan anak-anak, siapa lagi? Yang penting niatnya baik, dan hasilnya bisa dirasakan.”
Dari Barak, Harapan Baru Tumbuh
Anak-anak yang dulunya dicap “nakal”, “kecanduan”, “gagal”, sekarang punya kesempatan kedua. Bukan dengan dimarahi, tapi diajak bangkit lewat kedisiplinan, kasih sayang, dan pembinaan karakter.
Program yang digagas oleh Dedi Mulyadi dan dipantau langsung oleh Menkomdigi Meutya Hafid ini mungkin bukan solusi sempurna. Tapi ini permulaan.
Dan dari barak-barak itu, kita belajar bahwa kadang untuk menyelamatkan anak, kita perlu berani mencoba cara yang nggak biasa.