Suara Rakyat Menggelegar: Dari Tontonan Joget Hingga Tuntutan Pembubaran DPR
Isu “Bubarkan DPR” kembali mencuat setelah video pernyataan pedas dari YouTuber Fiki Himpong viral. Dalam videonya, ia menyoroti ketimpangan yang semakin tajam antara kehidupan rakyat kecil dengan kemewahan para wakil rakyat. Ungkapan “mental orang tertolol sedunia” sempat keluar sebagai bentuk kekecewaan terhadap sikap elit politik yang terkesan meremehkan keresahan rakyat.
Fenomena ini bukan sekadar luapan emosi spontan. Ada faktor yang lebih dalam: ketidakadilan sosial yang nyata. Di satu sisi, anggota DPR disebut menerima gaji hingga Rp3 juta per hari. Di sisi lain, mayoritas masyarakat masih berjuang hidup dengan penghasilan harian yang bahkan tidak sampai sepersepuluhnya.
Gaji DPR Rp3 Juta Per Hari: Angka Fantastis yang Bikin Rakyat Panas
Bayangkan saja, angka Rp3 juta per hari diumumkan ke ruang publik. Bagi sebagian orang, mungkin itu hanya sekadar angka formal. Namun bagi masyarakat kecil, jumlah itu terasa seperti mimpi.
Sebagian besar rakyat harus puas dengan penghasilan Rp30 ribu, Rp50 ribu, atau paling tinggi Rp100 ribu per hari. Itu pun hasil dari kerja keras, bukan dari duduk di kursi empuk ber-AC. Ada yang harus berjibaku di pasar, ada yang bekerja di sawah, hingga kuli yang memanggul beban seharian.
Di tengah realitas getir ini, rakyat malah disuguhi tontonan anggota dewan berjoget di media sosial. Seakan-akan mereka menari di atas luka rakyat.
“Bukannya masyarakat iri, tapi ketika diumumkan ke publik, jelas-jelas ada kecemburuan sosial yang tak bisa ditutup-tutupi,” kata Fiki Himpong dalam videonya.
Joget di Atas Luka: Rakyat Bertanya, Siapa Sebenarnya yang Diwakili?
Fenomena joget anggota DPR di layar kaca memantik pertanyaan besar: apa yang sebenarnya mereka wakili?
Apakah mereka mewakili wajah rakyat kecil yang harus menahan lapar? Atau hanya mewakili kepentingan segelintir elit? Ironinya, rakyat butuh kerja nyata, bukan hiburan murahan.
Bagi masyarakat, yang menyakitkan bukan hanya gaji besar, tapi juga sikap tidak peduli. Seolah-olah kursi empuk yang mereka duduki adalah hadiah pribadi, padahal itu hasil titipan suara rakyat.
Demo 25 Agustus: Suara Hati yang Meledak Jadi Tuntutan
Kekecewaan ini bukan lagi sekadar omelan di warung kopi atau curhatan di media sosial. Tanggal 25 Agustus disebut-sebut akan menjadi momentum demo besar-besaran di depan gedung DPR.
Tuntutannya jelas: bubarkan DPR.
Bagi rakyat, gaji Rp3 juta sehari bukan sekadar nominal. Itu simbol jurang lebar antara penguasa dan yang dikuasai. Di saat ada orang yang berjuang keras menjual gorengan hanya untuk membeli satu liter beras, para wakil rakyat sibuk berjoget ria.
Risiko Jika DPR Dibubarkan: Antara Harapan dan Kekacauan
Meski banyak yang menggaungkan pembubaran DPR, Fiki Himpong mengingatkan bahwa keputusan itu tidak sesederhana kelihatannya.
Benar, tanpa DPR, mungkin rakyat merasa lega. Tidak ada lagi drama soal gaji fantastis, tidak ada lagi tontonan joget yang menyakiti hati. Pemerintah bisa bergerak lebih cepat tanpa harus menunggu sidang panjang.
Namun di sisi lain, risikonya sangat serius:
- Hilangnya mekanisme check and balance
- Potensi kekuasaan presiden jadi terlalu besar
- Mandeknya pembuatan undang-undang
- Kekacauan hukum karena regulasi baru tak bisa diterbitkan
- Rakyat kehilangan wadah resmi untuk menyalurkan aspirasi
Tanpa DPR, suara rakyat bisa benar-benar hilang, hanya tersisa teriakan di jalanan atau komentar di media sosial.
Ironi Demokrasi: Rakyat yang Disebut “Tolol”
Hal yang membuat luka rakyat makin dalam adalah pernyataan bahwa mereka yang menyerukan pembubaran DPR dianggap “rakyat tolol”.
Kalimat itu menambah bara di dada masyarakat. Bagaimana mungkin rakyat yang kecewa, yang jelas-jelas punya alasan kuat, malah dihina? Padahal setiap rupiah gaji DPR berasal dari keringat rakyat.
Bukan Soal Uang, Tapi Soal Hati
Pada akhirnya, tuntutan rakyat bukan soal pemotongan gaji atau menuntut para anggota dewan hidup susah. Mereka hanya minta dihormati. Jangan jadikan penderitaan rakyat sebagai bahan tontonan.
Seperti yang dikatakan Fiki Himpong:
“Yang rakyat minta hanya satu, hormati penderitaan kami. Jangan jadikan kesenangan kalian sebagai tontonan.”
Apakah DPR Masih Relevan?
Pertanyaan besar kini muncul: apakah DPR masih relevan dengan fungsi aslinya sebagai wakil rakyat? Atau justru berubah menjadi panggung hiburan elit?
Rakyat bisa sabar, bisa diam, tapi mereka juga mencatat. Setiap joget, setiap ucapan, setiap aksi arogan akan disimpan dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia.
Cepat atau lambat, suara rakyatlah yang menentukan apakah para wakil masih layak duduk di kursi itu, atau justru harus turun bersama irama joget yang dulu mereka banggakan.
Penutup: Suara Rakyat, Suara yang Tak Bisa Dipadamkan
Meski ada kekecewaan mendalam, membubarkan DPR bukanlah solusi mudah. Yang dibutuhkan adalah perubahan sikap, perbaikan sistem, dan kesadaran bahwa kursi empuk itu hanyalah titipan rakyat.
Karena sehebat apapun panggung kekuasaan, tetap saja ada satu suara yang lebih keras daripada tepuk tangan: suara hati rakyat.